Penulis: Elma Nailatul Ezza |

Dalam upaya mentransformasi pendidikan menjadi lebih manusiawi dan bermakna, Kementerian Agama Republik Indonesia memperkenalkan Kurikulum Berbasis Cinta (KBC). Kurikulum ini bukan sekadar revisi teknis, tetapi gerakan filosofis yang berakar pada tiga pilar utama dalam filsafat: ontologi, epistemologi, dan aksiologi cinta. Melalui ketiga fondasi ini, pendidikan diorientasikan untuk membentuk manusia utuh—yang berpikir, merasa, dan bertindak dengan cinta.
Ontologi Cinta: Hakikat Manusia yang Diciptakan untuk Mencinta
Dalam fondasi Kurikulum Berbasis Cinta (KBC), ontologi cinta menjadi pijakan utama yang menjelaskan mengapa cinta bukan sekadar emosi sesaat atau puisi romantis belaka. Cinta dalam konteks ini dipahami sebagai unsur hakiki dalam eksistensi manusia—cikal bakal dari segala relasi, moralitas, dan identitas individu. Dalam pendekatan filosofis, ontologi membahas keberadaan, dan dalam pendidikan karakter, ia menjawab pertanyaan mendasar: "Apa itu cinta dan bagaimana ia membentuk manusia?"
Dokumen “Cinta: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi” menegaskan bahwa cinta adalah unsur kodrati dalam penciptaan manusia. Sejak kisah Adam dan Hawa, manusia hadir di bumi dengan membawa benih cinta. Ia hidup bukan hanya dengan akal dan tubuh, tapi juga dengan jiwa yang haus akan cinta dan memberi cinta. Cinta tidak bisa dipisahkan dari luka dan pengorbanan, sebab makna sejati dari cinta justru ditemukan dalam luka yang diterima dengan kesadaran dan penerimaan.
“Cinta itu bukan hanya rasa. Cinta itu kesiapan emosional dalam menghadapi luka,” begitu tertulis dalam dokumen tersebut. Artinya, cinta yang matang adalah cinta yang sadar akan batasnya, yang mampu menerima ketidaksempurnaan, dan tidak bergantung pada balasan. Inilah cinta yang disebut sebagai cinta dewasa—cinta yang menyadari dirinya sendiri, yang hadir bukan untuk memiliki, tetapi untuk menumbuhkan.
Konsep ini diperkuat oleh pandangan ontologis dalam pendidikan karakter sebagaimana dijelaskan dalam jurnal Journal of Science and Social Research. Ontologi dalam pendidikan karakter adalah kajian atas hakikat keberadaan pendidikan budi pekerti itu sendiri. Pendidikan, menurut filsafat ontologi, berakar dari kebutuhan manusia untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Ia merupakan proses pembentukan kesadaran moral, bukan sekadar transmisi ilmu pengetahuan. Dengan demikian, pendidikan yang bertumpu pada ontologi cinta akan lebih menekankan pembentukan jiwa dan karakter daripada sekadar prestasi akademik.
Dalam Kurikulum Berbasis Cinta, nilai-nilai ini dihidupkan melalui cara guru memandang murid. Murid tidak lagi dianggap sebagai objek transfer ilmu, tetapi sebagai subjek eksistensial yang sedang bertumbuh. Guru bukan hanya pengajar, tetapi juga pembimbing jiwa, penjaga emosi, dan penanam nilai. Hubungan guru dan murid dibangun atas dasar cinta, bukan otoritas semata. Proses belajar pun diwarnai dengan kasih, kesabaran, dan pemahaman, bukan kompetisi dan tekanan.
Pendidikan yang dibangun dari ontologi cinta akan melahirkan ruang kelas yang lebih manusiawi. Di sana, kesalahan murid bukan alasan untuk hukuman, melainkan kesempatan untuk tumbuh. Umpan balik bukan sekadar koreksi, tetapi penguatan identitas diri. Dan keberhasilan bukan diukur dari angka, tetapi dari kemampuan mencintai sesama, memahami diri, dan menyayangi kehidupan. Ontologi cinta dalam KBC sejatinya mengembalikan pendidikan pada tujuan hakikinya: memanusiakan manusia.
Epistemologi Cinta: Bagaimana Kita Mengenal dan Memahami Cinta
Dalam pendekatan filsafat pendidikan, epistemologi membahas bagaimana manusia memperoleh pengetahuan—baik melalui pengalaman, pengamatan, maupun proses reflektif. Dalam konteks Kurikulum Berbasis Cinta (KBC), epistemologi cinta dimaknai sebagai cara kita mengenal, memahami, dan menghidupi cinta bukan semata sebagai perasaan, tetapi sebagai bentuk pengetahuan yang aktif dan terus tumbuh. Cinta dalam pendidikan bukanlah naluri yang hadir secara instan, melainkan kesadaran yang dibangun secara bertahap melalui proses belajar, pembiasaan, dan perjumpaan dengan realitas kehidupan.
Kurikulum ini memandang cinta sebagai pengetahuan yang lahir dari relasi. Melalui interaksi dengan orang tua, guru, teman sebaya, lingkungan, hingga hubungan spiritual dengan Tuhan, peserta didik memperoleh pemahaman yang mendalam tentang cinta. Cinta tidak sekadar dikenalkan sebagai konsep atau teori, melainkan dihadirkan sebagai pengalaman konkret yang dihayati dalam keseharian. Proses ini mencerminkan pemahaman dalam filsafat pendidikan karakter, sebagaimana dijelaskan dalam naskah Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi dalam Pendidikan Karakter, bahwa nilai-nilai tidak cukup diajarkan, tetapi harus dialami dan dibiasakan.
Dalam penerapannya, KBC menggeser pendekatan pembelajaran dari kognitif yang bersifat hafalan ke arah afektif yang bersifat reflektif. Pelajaran-pelajaran konvensional seperti sejarah dan biologi tidak lagi semata-mata dipahami sebagai kumpulan data atau rumus, melainkan sebagai media untuk mengenali cinta. Dalam pelajaran sejarah, misalnya, siswa diajak untuk merenungi bagaimana cinta terhadap tanah air dan sesama pernah diperjuangkan oleh para tokoh bangsa. Di pelajaran biologi, tubuh manusia dipahami bukan hanya sebagai sistem organ, tetapi sebagai keajaiban ciptaan Tuhan yang mengandung makna spiritual.
Kurikulum ini menanamkan cinta melalui kegiatan pembiasaan yang terstruktur, seperti jurnal syukur harian, kelas refleksi mingguan, dan meditasi atau doa pagi bersama. Kegiatan ini tidak sekadar menjadi tambahan, melainkan bagian integral dari pembelajaran. Melalui praktik-praktik ini, siswa dilatih untuk mengenali perasaan, mengolah pengalaman, serta menumbuhkan sikap syukur dan welas asih. Di sinilah cinta menjadi pengetahuan yang tidak hanya melekat di pikiran, tetapi juga tumbuh dalam hati dan diwujudkan dalam tindakan.
Dengan cara ini, pendidikan menjadi proses humanisasi, bukan sekadar transmisi informasi. Epistemologi cinta dalam KBC menunjukkan bahwa pendidikan sejati adalah perjalanan batin yang penuh kesadaran. Peserta didik tidak hanya dilatih untuk memahami dunia, tetapi juga untuk memahami dirinya sendiri, sesama, dan Tuhan.
Aksiologi Cinta: Nilai, Etika, dan Keindahan dalam Pendidikan
Jika ontologi cinta menjelaskan hakikat cinta dan epistemologi mengupas bagaimana cinta dipahami, maka aksiologi cinta mengarahkan kita pada pertanyaan mendasar tentang untuk apa cinta itu hadir dalam pendidikan. Dalam filsafat, aksiologi membahas nilai dan kebermanfaatan. Dalam Kurikulum Berbasis Cinta (KBC), aksiologi cinta menjadi pondasi untuk mengaitkan cinta dengan tindakan nyata: cinta yang membentuk etika, menciptakan keindahan hidup, dan mewujud dalam praktik sosial yang bermakna.
Cinta dalam kerangka aksiologi bukanlah emosi yang pasif atau perasaan yang mengambang. Ia hadir sebagai nilai yang menggerakkan individu untuk bertindak secara etis dan berkontribusi positif terhadap lingkungan sosialnya. Pendidikan cinta dalam KBC mendorong peserta didik untuk hidup dalam nilai-nilai seperti kepedulian, tanggung jawab, ketulusan, dan penghargaan terhadap orang lain. Anak-anak tidak hanya diajarkan untuk mengetahui apa itu cinta, tetapi juga bagaimana menyatakannya dalam perbuatan sehari-hari.
Dokumen Cinta: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi menegaskan bahwa cinta yang benar akan menciptakan tindakan yang benar—bukan karena dorongan hukuman atau iming-iming hadiah, melainkan karena dorongan intrinsik untuk memberi. Nilai cinta sejati justru terlihat dalam kesediaan seseorang melakukan sesuatu untuk orang lain secara sukarela dan penuh kesadaran.
Prinsip ini diterapkan dalam KBC melalui berbagai aktivitas yang dirancang untuk menumbuhkan kepekaan moral dan rasa kemanusiaan. Proyek sosial madrasah menjadi sarana untuk menanamkan nilai solidaritas dan pengorbanan. Menulis surat untuk guru menjadi media menyampaikan apresiasi. Membersihkan masjid bersama mencerminkan cinta terhadap tempat suci sekaligus pembiasaan tanggung jawab bersama.
KBC juga memperkaya pembentukan nilai ini dengan pendekatan ilmiah terhadap cinta. Beberapa model digunakan dalam pelatihan guru dan penyusunan perangkat ajar, seperti teori cinta Sternberg (hasrat, keintiman, dan komitmen), Rubin (interpersonal attraction), serta tipologi cinta dari John Lee yang mencakup Eros, Ludus, Storge, Pragma, Mania, dan Agape. Di antara semua itu, pendekatan selflessness atau cinta tanpa pamrih menjadi esensi cinta sejati: mencintai tanpa memiliki, memberi tanpa pamrih, dan hadir tanpa menuntut.
Dengan membumikan cinta sebagai nilai, etika, dan tindakan, Kurikulum Berbasis Cinta membentuk lingkungan belajar yang lebih bermakna. Sekolah tidak lagi menjadi ruang perlombaan, tetapi menjadi taman tumbuhnya jiwa. Cinta tidak sekadar diajarkan, tetapi dirasakan dan dijalani dalam relasi sehari-hari. Aksiologi cinta menjadi pengingat bahwa pendidikan yang benar adalah pendidikan yang memuliakan manusia—membantu mereka menjadi pribadi yang mencintai, dicintai, dan membawa cinta itu ke dalam dunia.