
PENAEDUCASI.COM - Permukiman kumuh di kota-kota besar Indonesia menjadi sorotan serius
akibat dampaknya terhadap kesehatan masyarakat. Lingkungan padat penduduk dengan akses terbatas
pada air bersih, sanitasi buruk, dan drainase yang tidak memadai menjadi faktor utama penyebaran
penyakit menular seperti diare, demam berdarah, dan infeksi saluran pernapasan. Data menunjukkan
bahwa 60% warga permukiman kumuh mengandalkan air tanah yang terkontaminasi, sementara fasilitas
MCK (mandi, cuci, kakus) yang tidak layak memperparah risiko sanitasi lingkungan.
Penyebab utama terbentuknya kawasan kumuh adalah urbanisasi masif dan ketidakmampuan
pemerintah menyediakan perumahan terjangkau bagi pendatang. Akibatnya, masyarakat berpenghasilan
rendah terpaksa tinggal di hunian sempit, tidak teratur, dan minim infrastruktur. Kondisi ini tidak hanya
mengancam kesehatan fisik, tetapi juga memicu masalah sosial seperti stres, kekerasan domestik, serta
penyalahgunaan narkoba di kalangan remaja.
Upaya penanganan telah dilakukan melalui program seperti Perbaikan Kampung dan pembangunan
rumah susun (rusun) yang dilengkapi sarana pendidikan, kesehatan, dan ruang terbuka hijau. Namun,
solusi fisik saja tidak cukup. Pemerintah perlu mengintegrasikan rekayasa sosial, seperti pelatihan
keterampilan dan penciptaan lapangan kerja, agar warga mampu mandiri secara ekonomi. Partisipasi
aktif masyarakat juga krusial, misalnya melalui gerakan kebersihan lingkungan atau pembentukan
kelompok swadaya untuk memelihara fasilitas umum.
Ahli kesehatan masyarakat menekankan pentingnya pendekatan holistik. "Intervensi harus mencakup
peningkatan akses air bersih, edukasi hidup sehat, serta penguatan sistem layanan kesehatan dasar di
kawasan kumuh," ujar Dr. Johan Silas, pakar perencanaan permukiman. Dengan sinergi antara
pemerintah, swasta, dan masyarakat, diharapkan lingkungan kumuh dapat bertransformasi menjadi
kawasan layak huni yang mendukung kesejahteraan dan produktivitas warganya.
0 Komentar