PENA EDUKASI - Abdul Wahid Hasyim lahir di Jombang Jawa Timur pada 1 Juni 1914, dari pasangan K.H. Hasyim Asy`ari d an Nyai Nafiqah binti K Ilyas. Ayahnya merupakan pendiri dari organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama. Kecerdasan Wahid Hasyim sudah nampak sejak usianya masih sangat belia. Pada usia 7 tahun ia sudah khatam Al-Qur`an dengan mendapat bimbingan langsung dari ayahnya. Pendidikan lainnya ia peroleh di Pesantren Tebu Ireng. Pada usia 15 tahun ia sudah mengenal huruf latin, menguasai bahasa belanda dan Inggris tanpa pernah mengenyam pendidikan dari sekolah colonial sedikitpun. Pada usia 18 tahun ia menunaikan ibadah Haji sekaligus bermukim selama 2 tahun di Makah untuk memperdalam ilmu agama.
Sepulang dari tanah suci, putra kelima dari K.H. Hasyim as`ari ini aktif diorganisasi yang didirikan oleh Ayahnya. Pada tahun 1938 ia menjadi pengurus NU ranting Cukir dan terus menanjak, pada tahun 1940 menjadi pengurus tingkat pusat PBNU dengan memimpin Departemen Ma`arif yang membidangi pendidikan.
Institusi baru yang digagas Wahid Hasyim menggunakan ruang kelas dengan kurikulum 70 persen pelajaran umum dan 30 persen pelajaran agama. Aritmatika, sejarah, geografi, dan ilmu pengetahuan alam termasuk mata pelajaran wajib. Sebagai tambahan, santri diajari bahasa Indonesia, Inggris, dan Belanda. Keterampilan mengetik juga diberikan untuk meningkatkan kualitas keterampilan santri. Sebagai penunjang, Wahid Hasyim mendirikan sebuah perpustakaan. Buku yang tersedia kurang-lebih 1.000 judul-terdiri atas buku-buku teks dan karya-karya ilmiah populer, baik ditulis dalam bahasa Arab, Inggris, maupun Belanda.
Pada 24 Oktober 1943, ketika Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) didirikan menggantikan posisi MIAI, Kiai Wahid ditunjuk menjadi salah satu Pimpinan, Jepang berencana untuk menjadikan Masyumi sebagai alat penggerak rakyat menjadi pekerja paksa (romusha). Tapi dengan kedudukannya yang tinggi baik di pemerintahan Jepang maupun di Masyumi, Kiai Wahid dapat menghalau keinginan Jepang tersebut. Bahkan sebaliknya, beliau malah membentuk Barisan Hizbullah, yang terdiri dari para santri, dan tujuannya tidak lain untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Ketika organisasi tersebut dibentuk, Jepang sempat curiga. Namun dengan tenang Kiai Wahid menepis prasangka Jepang tersebut dengan mengatakan bahwa pembentukan itu dilakukan untuk mendukung kemenangan Jepang atas Asia Timur Raya.
Kiai Wahid masuk dalam BPUPKI pada usianya yang masih 33 tahun. Meskipun muda, tapi peran Kiai Wahid tidak bisa dinegasikan. Ketika badan ini membuat tim khusus berjumlah 9 orang (Panitia Sembilan) untuk merumuskan rancangan pembukaan UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia yang akan segera diproklamasikan, Kiai Wahid masuk menjadi salah satu diantaranya. Dalam dinamika diskusi BPUPKI, salah satu isu yang paling pelik dan monumental pada saat itu adalah isu tentang sila pertama dari Pancasila yang berbunyi, “Ketuhanan Yang Maha Esa (dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya)”.
Pada 7 Agustus 1945, Jepang membubarkan BPUPKI, dan membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau Dokuritsu Junbi Iinkai. Dalam kepanitiaan yang dipimpin oleh Sukarno-Hatta ini, Kiai Wahid kembali masuk dalam susunan keanggotaan. Di sinilah Kiai Wahid banyak berdiskusi secara intens dengan Sukarno dan Hatta, khususnya tentang polemik tentang 7 kata tersebut. Perdebatan ini baru rampung pada rapat tanggal 18 Agustus 1945. Menurut laporan dari Tempo, ketika itu Hatta menghadap Sukarno dan mengatakan, “Saya telah membahasnya dengan Kiai Wahid.”
Meskipun dalam rapat Tim Sembilan, Kiai Wahid adalah salah satu orang yang menggagas dihilangkannya 7 kata pada Sila Pertama Pancasila, tapi beliau membuktikan bahwa kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya sama sekali tidak diganggu. Sebaliknya, selama menjabat sebagai Menteri Agama, Kiai Wahid berhasil membuat negara hadir dan melayani secara seksama seluruh kebutuhan umat ini.
Ketika menjabat sebagai Menteri Agama RI, beliau mulai menggagas pendirian Sekolah Guru dan Hakim Agama di Malang, Yogyakarta, Bandung, Bukit Tinggi, dan Banda Aceh. Beliau juga mendirikan pendidikan guru agama di Pamekasan, Salatiga, Bandung, Jakarta, Tanjung Karang, Padang, Banda Aceh, Tanjung Pinang, dan Banjarmasin. Sekolah-sekolah ini didirkan untuk meningkatkan kualitas pengajaran guru-guru yang umumnya pada masa itu masih sangat tersegmentasi – bila bukan lulusan Hollandsch Inlandsche School maka mereka biasanya lulusan pesantren. Sekolah-sekolah keguruan yang didirikan ini bertujuan untuk melebur keduanya serta meningkatkan bobot mutu pengetahuan para calon guru. Pada puncaknya, Kiai Wahid meresmikan apa yang disebut sebagai Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN), di Yogyakarta pada 26 September 1951. Inilah embrio lembaga pendidikan yang kemudian dikenal dengan Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Universitas Islam Negeri (UIN), dan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN).
Pada tahun 1952, atau di masa akhir jabatannya sebagai Menteri Agama, Kiai Wahid berangkat ke Jepang. Tujuannya mencari kapal-kapal yang berkualitas untuk memfasilitasi pelaksanaan haji kaum Muslimin. Kiai Wahid akhirnya menggagas berdirinya Yayasan Panitia Haji Indonesia. Tujuannya untuk meningkatkan pengetahuan calon jamaah haji sebelum berangkat ke tanah suci, sekaligus mengatur secara keseluruhan mekanisme perjalanan mereka. Kiai Wahid sebagai Menteri Agama mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 3170 tanggal 6 Februari 1950 dan Surat Edaran Menteri Agama di Yogyakarta Nomor A.III/648 tanggal 9 Februari 1959, yang menetapkan Panitia Haji Indonesia sebagai satu-satunya badan resmi yang menyelenggarakan perjalanan haji.Beliau juga menyusun aturan terperinci soal perhajian, termasuk kuota masing-masing daerah, uraian ongkos yang harus dibayar jemaah, dan pembentukan Majelis Pimpinan Haji, yang terdiri atas 2-3 orang di tiap kapal pemberangkatan. Pada tahun yang sama, akses jalur udara dari Indonesia menuju Mekkah pun resmi dibuka.
Pada tanggal 18 April 1953, beliau berencana menghadiri rapat Nahdlatul Ulama di Sumedang, Jawa Barat dengan mengendarai mobil. Ketika itu hujan deras dan berkabut, sehingga jalanan menjadi licin. Tiba-tiba saja ban mobil mengalami selip, sehingga mobil melaju zigzag. Wachid Hasjim terpelanting keluar dan jatuh di bawah truck. Wahid terluka parah di bagian kening, mata, pipi, leher, dan pingsan seketika. Pada keesokan harinya, 19 April 1953, tepatnya pukul 10.30, ruh agung Kiai Wahid pun berangkat menuju Tuhannya. Beliau wafat pada usia 39 tahun dan dimakamkan di Pesantren Tebuireng, Jombang.
0 Komentar