Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Dari Benteng Bonjol ke Pengasingan: Kisah Heroik Tuanku Imam Bonjol yang Dikhianati Belanda

Kisah Heroik Tuanku Imam Bonjol yang Dikhianati Belanda
Gambar: Tuanku Imam Bonjol

Lotak, Minahasa, 8 November 1864— Di sebuah tanah pengasingan yang jauh dari kampung halamannya, Tuanku Imam Bonjol mengembuskan napas terakhir. Sang pemimpin Perang Padri itu wafat bukan di medan perang, melainkan sebagai tawanan Belanda yang dibuang ke pelosok Nusantara. Kisahnya adalah cerita tentang perlawanan, persatuan, dan pengkhianatan yang mengubah wajah sejarah Indonesia.

Tahun 1803, di pedalaman Minangkabau, konflik memanas antara Kaum Padri yang ingin memberantas praktik judi, sabung ayam, dan madat, dengan Kaum Adat yang mempertahankan tradisi. Tuanku Imam Bonjol, yang saat itu telah bergelar Malin Basa setelah menimba ilmu di Aceh, diangkat oleh Harimau nan Salapan sebagai pemimpin Kaum Padri. Nama "Bonjol" melekat karena ia diutus menjadi imam di Nagari Bonjol.

Benteng Bonjol, markas pertahanan Tuanku Imam Bonjol, dikepung Belanda selama enam bulan (1837). Pasukan kolonial mendatangkan bala bantuan dari Batavia, sementara rakyat Minang bertahan dengan senjata seadanya. "Kami makan daun pepohonan saat persediaan habis. Tapi selama Imam Bonjol masih berdiri, semangat kami tak padam," kenang Sutan Ali, salah satu pejuang.

Belanda akhirnya merebut benteng pada 16 Agustus 1837. Tapi Tuanku Imam Bonjol belum menyerah. Ia diundang berunding di Palupuh pada Oktober 1837, namun itu adalah jebakan. "Dia datang dengan putih hati, tapi Belanda memborgolnya seperti penjahat," tulis sejarawan Belanda dalam laporan rahasia.

 

Pengasingan hingga Wafatnya Sang Imam

Tuanku Imam Bonjol dibuang ke Cianjur, lalu ke Ambon, dan terakhir ke Lotak, Minahasa. Di pengasingan, ia tetap mengajar agama meski diawasi ketat. "Aku mungkin terpenjara, tapi ajaran Islam dan semangat merdeka tak akan pernah mati," katanya kepada pengikut setia.

Pada 6 November 1864, di usia 92 tahun, Sang Imam wafat. Makamnya di Lotak kini dikunjungi peziarah sebagai simbol keteguhan hati.

 

Warisan yang Tak Lekang: Dari Uang Rp5.000 hingga Jalan Nasional

Pada 1973, pemerintah RI menganugerahinya gelar Pahlawan Nasional. Namanya diabadikan di uang pecahan Rp5.000 dan puluhan jalan di Indonesia. "Tuanku Imam Bonjol mengajarkan bahwa persatuan dan prinsip adalah senjata terkuat melawan penjajahan," ucap Budayawan Minang, Wisran Hadi.

Kini, 160 tahun setelah wafatnya, kisah Tuanku Imam Bonjol tetap hidup—bukan hanya sebagai sejarah, tapi sebagai api yang menyala untuk generasi muda.

Sumber: Arsip Perang Padri, Catatan Pengasingan Belanda, SK Presiden RI No. 087/TK/1973.

Posting Komentar

0 Komentar