
Lotak, Minahasa, 8 November 1864— Di sebuah tanah pengasingan yang jauh dari kampung halamannya, Tuanku Imam Bonjol mengembuskan napas terakhir. Sang pemimpin Perang Padri itu wafat bukan di medan perang, melainkan sebagai tawanan Belanda yang dibuang ke pelosok Nusantara. Kisahnya adalah cerita tentang perlawanan, persatuan, dan pengkhianatan yang mengubah wajah sejarah Indonesia.
Awal Mula Perlawanan: Ketika Syariat Islam Dipertahankan
Tahun 1803, di pedalaman Minangkabau, konflik memanas antara Kaum Padri yang ingin memberantas praktik judi, sabung ayam, dan madat, dengan Kaum Adat yang mempertahankan tradisi. Tuanku Imam Bonjol, yang saat itu telah bergelar Malin Basa setelah menimba ilmu di Aceh, diangkat oleh Harimau nan Salapan sebagai pemimpin Kaum Padri. Nama "Bonjol" melekat karena ia diutus menjadi imam di Nagari Bonjol.
Belanda, yang mengincar kekayaan Minangkabau, memanfaatkan
konflik ini. Pada 1821, mereka bersekutu dengan Kaum Adat melalui Perjanjian
Padang, menjanjikan bantuan militer sebagai imbalan kekuasaan atas wilayah
pedalaman. "Ini awal petaka. Belanda bukan sekutu, tapi penjajah yang
licik," tulis Tuanku Imam Bonjol dalam catatan hariannya.
Perjanjian Damai yang Dihianati: Belanda Main Dua Sisi
Di bawah kepemimpinan Tuanku Imam Bonjol, perlawanan Kaum
Padri begitu sengit. Belanda kewalahan hingga terpaksa mengajak damai
lewat Perjanjian Masang (1824). Namun, perdamaian itu hanya ilusi.
"Mereka kembali menyerang Nagari Pandai Sikek. Janji Belanda ibarat garam
di laut—manis di mulut, pahit di hati," kisah seorang veteran Perang
Padri.
Puncaknya pada 1833, Kaum Padri dan Adat akhirnya bersatu
setelah menyadari Belanda adalah musuh bersama. Plakat
Puncak Pato di Tabek Patah menjadi simbol persatuan. "Kami sadar,
darah sesama Minang lebih berharga daripada pertikaian," ucap Tuanku Imam
Bonjol dalam pidatonya.
Pengepungan Bonjol: 6 Bulan Pertaruhan Nyawa
Benteng Bonjol, markas pertahanan Tuanku Imam Bonjol,
dikepung Belanda selama enam bulan (1837). Pasukan kolonial mendatangkan bala
bantuan dari Batavia, sementara rakyat Minang bertahan dengan senjata seadanya.
"Kami makan daun pepohonan saat persediaan habis. Tapi selama Imam Bonjol
masih berdiri, semangat kami tak padam," kenang Sutan Ali, salah satu
pejuang.
Belanda akhirnya merebut benteng pada 16 Agustus 1837. Tapi
Tuanku Imam Bonjol belum menyerah. Ia diundang berunding di Palupuh pada
Oktober 1837, namun itu adalah jebakan. "Dia datang dengan putih hati,
tapi Belanda memborgolnya seperti penjahat," tulis sejarawan Belanda dalam
laporan rahasia.
Pengasingan hingga Wafatnya Sang Imam
Tuanku Imam Bonjol dibuang ke Cianjur, lalu ke Ambon, dan
terakhir ke Lotak, Minahasa. Di pengasingan, ia tetap mengajar agama meski
diawasi ketat. "Aku mungkin terpenjara, tapi ajaran Islam dan semangat
merdeka tak akan pernah mati," katanya kepada pengikut setia.
Pada 6 November 1864, di usia 92 tahun, Sang Imam wafat.
Makamnya di Lotak kini dikunjungi peziarah sebagai simbol keteguhan hati.
Warisan yang Tak Lekang: Dari Uang Rp5.000 hingga Jalan
Nasional
Pada 1973, pemerintah RI menganugerahinya gelar Pahlawan
Nasional. Namanya diabadikan di uang pecahan Rp5.000 dan puluhan jalan di
Indonesia. "Tuanku Imam Bonjol mengajarkan bahwa persatuan dan prinsip
adalah senjata terkuat melawan penjajahan," ucap Budayawan Minang, Wisran
Hadi.
Kini, 160 tahun setelah wafatnya, kisah Tuanku Imam Bonjol
tetap hidup—bukan hanya sebagai sejarah, tapi sebagai api yang menyala untuk
generasi muda.
Sumber: Arsip Perang Padri, Catatan Pengasingan
Belanda, SK Presiden RI No. 087/TK/1973.
0 Komentar