Nahdlatul Ulama (NU), atau yang berarti Kebangkitan Ulama, bukan sekadar sebuah organisasi. Ia adalah manifestasi dari perjuangan panjang kaum santri dan ulama pesantren dalam merespons kondisi zaman, menjaga tradisi keislaman, sekaligus memperjuangkan kemerdekaan bangsa. Memahami sejarahnya berarti menyelami denyut nadi perjuangan umat Islam di Indonesia.

Daftar Isi
-Latar Belakang Sejarah: Semangat Kebangkitan Nasional
Kelahiran NU tidak bisa dilepaskan dari konteks historis awal abad ke-20. Bangsa Indonesia saat itu tengah berada dalam cengkeraman kolonialisme yang menyebabkan keterbelakangan di berbagai sektor, baik ekonomi maupun mental. Kondisi ini menyulut api kesadaran di kalangan kaum terpelajar untuk bangkit memperjuangkan martabat bangsa melalui jalur organisasi dan pendidikan. Gerakan inilah yang kita kenal sebagai Kebangkitan Nasional yang ditandai dengan berdirinya Budi Utomo pada 1908.
Semangat kebangkitan ini menyebar luas, termasuk ke jantung pertahanan spiritual dan intelektual bangsa, yaitu pesantren Indonesia. Kalangan pesantren, yang secara historis selalu berada di garda depan perlawanan terhadap penjajah, merespons gelombang perubahan ini dengan cara mereka sendiri: membentuk wadah pergerakan yang terorganisir.
Cikal Bakal Pergerakan Kaum Santri
Sebelum NU resmi berdiri, telah lahir beberapa organisasi embrional yang menjadi fondasi dan tempat persemaian gagasan-gagasan besar. Organisasi-organisasi ini menunjukkan bahwa pergerakan santri telah dimulai jauh sebelum 1926.
1. Nahdlatut Wathan (Kebangkitan Tanah Air) - 1916
Organisasi ini menjadi salah satu penanda awal bahwa kaum santri mulai memasuki arena pergerakan modern. Fokusnya adalah menanamkan semangat cinta tanah air dan nasionalisme di kalangan santri.
2. Taswirul Afkar (Kebangkitan Pemikiran) - 1918
Dikenal juga sebagai Nahdlatul Fikri, organisasi ini berfungsi sebagai forum diskusi dan pusat kajian intelektual. Taswirul Afkar menjadi wahana bagi para santri untuk mendalami isu-isu sosial-politik dan keagamaan, memperluas wawasan mereka di luar kitab kuning tradisional.
3. Nahdlatut Tujjar (Pergerakan Kaum Saudagar)
Menyadari pentingnya kemandirian ekonomi, didirikanlah Nahdlatut Tujjar. Organisasi ini bertujuan untuk memberdayakan dan memperkuat perekonomian rakyat, khususnya di kalangan pedagang santri, sebagai basis kekuatan perjuangan.
Momen Kritis: Pembentukan Komite Hejaz
Sebuah peristiwa internasional menjadi pemantik utama yang mempercepat lahirnya NU. Ketika Raja Ibnu Saud menguasai Mekah, ia berencana menerapkan paham Wahabi sebagai asas tunggal dan menghancurkan situs-situs bersejarah Islam yang dianggap sumber bid'ah. Gagasan ini didukung oleh beberapa kelompok modernis Islam di Indonesia.
Kalangan pesantren, yang teguh memegang prinsip keberagaman mazhab (ikhtilaf) dan pelestarian warisan peradaban, menolak keras rencana tersebut. Namun, suara mereka terancam tidak terdengar di panggung internasional.
Akibat perbedaan pandangan ini, perwakilan ulama pesantren dikeluarkan dari Kongres Al-Islam di Yogyakarta pada 1925 dan tidak diikutsertakan dalam delegasi ke Kongres Islam Internasional di Mekah. Tak ingin tinggal diam, para ulama pesantren yang dipimpin oleh KH. Wahab Hasbullah membentuk delegasi tandingan bernama Komite Hejaz.
Berkat desakan gigih dari Komite Hejaz dan umat Islam dunia, Raja Ibnu Saud akhirnya mengurungkan niatnya. Kebebasan beribadah sesuai mazhab masing-masing (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali) tetap dijamin di Tanah Suci. Ini adalah kemenangan diplomatik internasional pertama bagi kalangan pesantren yang monumental.
Kelahiran Nahdlatul Ulama (1926)
Keberhasilan Komite Hejaz menyadarkan para kiai akan pentingnya sebuah organisasi yang lebih permanen, sistematis, dan solid untuk menghadapi tantangan zaman. Setelah melalui serangkaian koordinasi dan musyawarah mendalam antar ulama, lahirlah kesepakatan untuk mendirikan sebuah jam'iyah (organisasi).
Tepat pada tanggal 16 Rajab 1344 Hijriah atau 31 Januari 1926 Masehi, di Surabaya, organisasi bernama Nahdlatul Ulama secara resmi didirikan. Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari dipercaya sebagai Rais Akbar (pemimpin tertinggi) pertama.
Prinsip Dasar dan Fondasi Organisasi
Untuk memberikan arah dan landasan yang kokoh, KH. Hasyim Asy'ari merumuskan dua kitab fundamental:
- Kitab Qanun Asasi (Prinsip Dasar): Berisi landasan ideologis, visi, dan misi organisasi yang menjadi pedoman utama pergerakan.
- Kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jama’ah: Menegaskan pilar akidah (keyakinan) NU yang berpegang teguh pada ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja), dengan mengikuti mazhab empat dalam fikih, serta Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi dalam teologi.
Prinsip-prinsip ini kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Khittah NU, yang berfungsi sebagai panduan strategis bagi warga NU dalam bersikap di bidang sosial, keagamaan, maupun politik.
Jaringan dan Basis Massa yang Mengakar Kuat
Sejak awal berdirinya, NU telah menunjukkan pertumbuhan yang pesat. Jaringan organisasinya meluas dari tingkat pusat hingga ke ranting di desa-desa. Hingga kini, jaringan NU adalah salah satu yang paling terstruktur dan luas di Indonesia.
Basis pendukung NU (sering disebut nahdliyin) diperkirakan mencapai puluhan juta jiwa, menjadikannya salah satu organisasi Islam Indonesia terbesar di dunia. Awalnya, basis massa ini didominasi oleh masyarakat agraris di pedesaan yang memiliki ikatan kuat dengan dunia pesantren. Namun, seiring dengan modernisasi dan urbanisasi, warga NU kini tersebar di berbagai profesi, termasuk buruh, intelektual, dan profesional di perkotaan.
Kohesivitas warga NU terjalin erat melalui kesamaan pandangan keagamaan (Aswaja), ikatan kultural, dan loyalitas terhadap figur kiai dan institusi pesantren.
Kesimpulan
Sejarah berdirinya Nahdlatul Ulama adalah cerminan dari dinamika perjuangan kaum santri yang visioner. NU lahir dari kebutuhan untuk membentengi tradisi keislaman yang moderat (tawassuth), merespons tantangan modernitas, dan berkontribusi aktif dalam pembangunan bangsa. Dari sebuah komite kecil untuk misi diplomatik hingga menjadi organisasi raksasa, NU terus membuktikan perannya sebagai penjaga ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah dan pilar penting bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.